Sugeng Teguh Santoso ; Sang Pembela Berpeci Hitam

 

Peci hitam menjadi ciri keseharian Sugeng Teguh Santoso

Panggil saja saya STS. Demikian kata Sugeng Teguh Santoso yang kini maju sebagai Bakal Calon (Balon) Walikota Bogor memperkenalkan diri kepada media online ini dengan ramah.

Bacaan Lainnya

Dunia profesi advokat sudah 30 tahun ditekuninya. Perjalanan waktu yang cukup lama itu membuatnya dijuluki kalangan rekan seprofesinya sebagai advokast senior. Bahkan, saat ini ia didapuk sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)–sebuah organisasi yang menaungi profesi advokat di seluruh nusantara. Dalam menjalankan aktivitas keseharian, ia selalu mengenakan “peci hitam”.

“Peci hitam ini selalu bertengger di atas kepala saya. Nyaris tidak pernah lepas. Bahkan saat bersidang membela masyarakat di pengadilan. Mungkin karena kebiasaan ini, sebutan “Bapak Berpeci Hitam” disematkan para sahabat dan rekan-rekan saya,” tukas STS, Sabtu (30/9/2017).

Sebagai advokat, ia telah mengabdikan seluruh hidup dengan membela ratusan perkara masyarakat di seluruh Indonesia.

“Ini bermula saat saya masih duduk dibangku SMA. Bagaimana saya harus menyaksikan rumah orang tua saya dan masyarakat pinggiran digusur tanpa bisa melawan. Ya, saya dan masyarakat Mangga Dua Selatan, Jakarta menjadi korban gusuran pemerintah DKI. Dan, lahan bekas rumah saya dan warga kemudian berubah menjadi kawasan bisnis elite di tengah ibukota,” kisahnya.

Saat itu, sambungnya, warga hanya bisa menangis melihat rumahnya digusur. Tidak ada yang bisa melawan. Dan, tidak ada yang memberi pembelaan kepada masyarakat.

“Padahal, dalam peristiwa penggusuran ini saya melihat ada begitu banyak ketidakadilan. Peristiwa itulah yang kemudian mendorong saya mengambil sikap dan kemudian memutuskan untuk memilih sekolah hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI). Profesi Advokat kemudian melekat dalam diri saya,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, masih kata STS, spirit menjadi advokat bukan semata-mata untuk mencari materi.

“Profesi ini bagi saya adalah melakukan pembelaan “Sang Pembela”. Dan, ternyata benar. Dengan profesi ini, sampai sekarang saya masih terus melakukan pembelaan hukum kepada masyarakat tertindas dimanapun berada,” lanjutnya.

Dimulai 1989, STS kulia di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Disinilah awal mula ia melakukan pembelaan kepada masyarakat melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

“Pedagang asongan yang dikejar aparat. Tukang becak yang tergusur dari ibukota. Petani yang dirampas lahannya. Buruh yang menuntut upah yang wajar. Juga mahasiswa yang ditangkap oleh pemerintah Orde Baru karena sikap kritisnya. Itu semua menjadi aktivitas dalam keseharian saya. Terus melakukan pembelaan,” kenangnya.

Sejak kuliah, STS juga aktif dalam berbagai organisasi sosial kemanusiaan. Bermula menjadi relawan di LBH Jakarta. Kemudian menjadi anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (1996). Lalu pada 1997, mendirikan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Dia juga tercatat sebagai deklarator Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada 2004. Selain itu, juga menjadi Wakil Ketua Umum Peradi periode 2010-2015.

“Pada 2016, saya mendirikan Yayasan Satu Keadilan sebagai organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap persoalan penegakkan hukum, HAM dan Demokrasi. Di tahun yang sama, saya pun mendirikan Pondok Pesantren Darul Adli di Kemang, Bogor,” tuturnya.

Pesantren yang didirikan tersebut karena dilatarbelakangi kecintaannya pada lembaga pendidikan. Menurutnya, ini sebagai solusi atas krisis moral bangsa ini.

“Saya ingin generasi mendatang tetap berakhlakul karimah serta menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).Pada 2017, saya juga membentuk organisasi berbasis masyarakat. Namanya Front Pembela Indonesia. Ormas ini fokus pada kegiatan bela negara serta gerakan sosial kemasyarakatan,” ucapnya.

Balon Walikota Bogor

Keinginannya maju sebagai Balon Walikota Bogor, dilatarbelakangi menjemput mimpi untuk menghantarkan Bogor berkeadilan social dan menjujung tinggi keterbukaan. Menurutnya, mendatang Kota Bogor harus tumbuh menjadi kota milik semua warganya.

“Itu visi saya. Untuk mewujudkan visi, maka misi saya adalah perlunya merawat dan meneguhkan ke-Indonesiaan khususnya Bogor dengan mengedepankan Pancasila dan konstitusi dalam setiap gerak pembangunan daerah,” ungkapnya.

Selanjutnya, masih berkaitan dengan misi STS, mengupayakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat Kota Bogor. Kemudian, membangun infrastruktur lingkungan warga yang massif dan ramah, meningkatkan layanan kesehatan gratis, meningkatkan pendidikan gratis tanpa pungutan lagi di sekolah negeri.

“Kemudian, memperkuat ekonomi mandiri untuk UMKM dan PKL dengan tanpa basa basi, Terminal Baranangsiang harus dibangun segera sebagai pintu masuk Kota Bogor. Selain itu, warga, budayawan dan seniman harus difasilitasi menggunakan ruang publik untuk tampil, dunia usaha juga akan diberi hak yang sama, tidak ada mafia proyek. Serta, melakukan sinergi positif dengan Polri dan TNI untuk pengamanan wilayah,” urainya panjang lebar.

Rekam Jejak

Soal janji, kata STS, siapapun punya hak tidak percaaya. Namun, rekam jejak dirinya bisa diakses melalui situs www.satukeadilan.org.

“Atau, silahkan buka google cukup dengan menulis nama saya. Dari sana, bisa dibuktikan bahwa saya telah menorehkan rekam jejak yang nyata. Artinya, saya telah bekerja sosial cukup lama sebelum akhirnya memutuskan masuk politik praktis ini,” ujarnya.

Sebagai advokat yang lahir dari keluarga miskin, sambung STS, ayahnya hanya penarik becak yang sudah terbiasa merasakan derita kondisi masyarakat kebanyakan saat ini.

“Karena itu, saya selalu berupaya melakukan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat sipil seperti melakukan advokasi dan pendampingan terhadap 17 korban kekerasan perempuan “Pekerja Rumah Tangga (PRT)” yang disekap oleh majikannya hingga proses peradilan selesai. Majikan yang bengis tersebut akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Bogor pada 2013,” tuturnya.

Dalam persoalan Terminal Baranangsiang, lanjutnya, dirinya juga memberi pembelaan dan konsultasi pada warga kebanyakan yang menolak.

“Pada 2013, saya juga mengajukan gugatan terhadap pengusaha Hotel Amaroossa bersama tokoh masyarakat dan budayawan Bogor karena membangun Hotel dengan ketinggian melebihi miniatur Tugu Kujang sebagai ikon Kota Bogor. Seterusnya, pada 2014 hingga saat ini, saya masih membela masyarakat Antajaya, Kabupaten Bogor dengan menjadi pembela atas kesewenang-wenangan pengusaha tambang. Pada kasus ini, Muhamad Miki seorang pemuda desa dikriminalisasi atas laporan pengusaha dan dijebloskan ke dalam penjara. Saya kemudian mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas Keputusan Pemerintah yang telah memberi izin tambang kepada pengusaha di Gunung Kandaga yang berpotensi merusak alam dan lingkungan masyarakat Bogor,” paparnya.

Terkait rekam jejaknya, pada 2015 sampai 2016, STS juga membela warga Desa Cadasari, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dalam kasus tersebut, sumber mata air milik masyarakat ditutup paksa oleh PT. Tirta Fresindo Jaya (Grup Mayora).

“Dalam pembelaan ini saya bertemu dan bersosialisasi dengan Abuya Muhtadi, para tokoh ulama seperti: Kiai Matin Syarkowi , Ketua PCNU Serang Banten dan Pimpinan Pesantren Alfhaniyah Serang, Banten. Alhamdulillah. Izin perusahaan tersebut akhirnya dapat dibekukan,” ujarnya.

Kemudian, pada 2016, ia juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang (UU) Pengampunan Pajak, karena UU tersebut memberi keistimewaan bagi para perampok pajak yang telah merugikan keuangan negara dan merusak tatanan ekonomi. Pada tahun yang sama, STS juga mengajukan gugatan terhadap lembaga DPR-RI ketika tidak menjalankan proses sidang Dewan Kehormatan atas kasus “Papa Minta Saham” Ketua DPR-RI Setya Novanto.

“Atas banyaknya permintaan untuk menangani kasus-kasus masyarakat, lalu saya mendirikan lagi empat kantor LBH Keadilan: Bogor, Sukabumi, Jakarta dan Semarang,” kata STS.

Tagline Sang Pembela

Penyebutan tagline Sang Pembela pada musim pra pilkada atas masukan para pendukungnya. Dan, kebetulan istilah itu selaras dengan dunia yang digelutinya selama ini.

“Karena, memang itulah sebenarnya jati diri saya. Dan, saya siap mendengar, membela masyarakat dari semua lapisan tanpa kecuali. Tidak basa-basi politik. Saya menyediakan diri untuk dipilih dan akan memperjuangkan kepentingan smeua orang,” tukas STS.

Jika terpilih sebagai Walikota Bogor, aktivis yang sudah malang melintang di dunia hukum tersebut mengatakan, jabatan baginya hanya bonus dalam politik.

“Kalau pun tidak terpilih, maka saya setidaknya telah membangun paradigma baru dalam politik yang bersih dan sehat,” tuntas Sugeng yang dikenal dekat dengan kalangan aktivis pro demokrasi. (adv)

sumber : Berita Bogor