Delik Korupsi dalam RKUHP, Lemahkan Pemberantasan Korupsi | Headline Bogor

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR, Erma Suryani Ranik, meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak berpikir negatif terkait rencana masuknya delik tindak pidana korupsi (tipikor) dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), yang saat ini jadi topik bahasan pemerintah,

Menurut Erma, masuknya delik korupsi dalam RKUHP tidak akan mengamputasi kewenangan yang dimiliki lembaga antirasuah tersebut. Politikus Partai Demokrat itu juga menolak anggapan sebagian kalangan yang menyebutkan upaya memasukkan delik korupsi dalam RKUHP sebagai “titipan” untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi.

Erma menjelaskan, tindak pidana korupsi masuk dalam naskah akademik RKUHP pada kategori tindak pidana khusus. Selain tipikor, ada pula tindak pidana HAM berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Kelimanya masuk dalam kategori tindak pidana khusus.

Erma menambahkan, alasan lima tindak pidana itu masuk dalam kategori tindak pidana khusus dikarenakan dampak viktimisasinya besar, bersifat transnasional dan terorganisir, pengaturan acara pidananya bersifat khusus, dan sering menyimpang dari asas asas umum hukum pidana materil.

Alasan lainnya, yakni adanya lembaga lembaga pendukung penegakan hukum yang bersifat khusus dengan kewenangan khusus, didukung oleh konvensi internasional, serta merupakan “super mala per se” dan besarnya “prople condemnation.”

“Seluruh hasil presentasi draft pemerintah akan dibahas bersama lagi oleh DPR dan pemerintah. Mungkin akan intensif setelah habis lebaran,” ujar Erma.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menduga masuknya delik korupsi dalam RKUHP merupakan “titipan” dari pihak yang ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Diduga memasukan delik korupsi di dalam RKUHP berpotensi titipan dari kepentingan yang menginginkan melemahnya upaya pemberantasan korupsi,” ujar Feri saat dihubunti oleh pihak media,

Misalnya saja, keberadaan pasal-pasal di RKUHP yang memuat sanksi pidana penjaranya jauh lebih ringan ketimbang di dalam UU Tipikor. Selain itu, Feri menengarai upaya memasukkan delik tipikor ke dalam kodifikasi hukum pidana umum menyebabkan sifat khusus UU Tipikor menjadi terdegradasi atau mengalami kemunduran.

“Padahal UU Tipikor dikenal angker menjerat pelaku korupsi,” terang Feri.

Sebagaimana diketahui, aktivis antikorupsi menduga rencana legislatif memasukkan pasal tindak pidana korupsi (tipikor) ke dalam RKUHP untuk melumpuhkan kewenangan KPK. Dengan dimasukkannya pasal tipikor, kewenangan lembaga antirasuah hanya sebatas pencegahan. Sementara itu, bagian penindakan menjadi ranah kepolisian dan Kejaksaan Agung.

KPK sendiri telah lima kali mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghapuskan delik korupsi dalam RKUHP. Namun, surat tersebut belum pernah dibalas Kepala Negara.

Di sisi lain, Ketua Tim Perumus RKUHP, Muladi, menegaskan tidak ada pasal di RKUHP yang mengebiri KPK. Terkait Pasal 729 yang menjadi permasalahan KPK, dijelaskan Muladi, pasal tersebut memberikan penjelasan bahwa KPK mempunyai kekhususan untuk tetap melaksanakan atau berpacu pada Undang-Undang KPK.