Konspirasi Cerutu dan Tuhan
oleh: Yogen Sogen
Tiada hari kabar tandus menderap di bibirmu
yang bersimbah debu menyebut Tuhan telah mati
di negeri ini
Kau Tuhan dalam dadamu yang membakar cerutu
Ketika asap logikamu pengap
Katamu tuhan ada di sampingmu
Juga dalam cerutu
Yang menciptakan kita dalam sebuah asap di warung remang
Begitu gemilang dan rindang bibirmu ketika satu helaian menakar cerita dalam cerutu yang tak bertuhan
Namun Tuhan selalu seksi di bibir gelas seusai cerutu tak mampu menolak cerita wangi kopi di malam yang tak bertuan namun ada Tuhan katamu,
Mungkin Tuhan juga mencintai kopi ketika sepi?
Kembali,
Setelah setengah malam larut dalam logika tentang tuhan
dan tuhan ada di warung remang
Kembali bibirmu menakar pertanyaan kenapa tuhan tidak pernah mati sedangkan cerutu hampir usai pada nafasmu yang ketujuh puluh dua
Mungkin Tuhan yang memanen cerita dalam derap nafasmu pada hari-hari yang telah purba?
Lalu
Kau merenung, mengasah kembali asa yang terpisah pada meja yang berwarna merah putih
Mungkin Tuhan berwarna merah juga putih
Lalu kau bakar cerutu yang kesekian
Mengembus asap di meja merah putih
Mungkinkah Tuhan menyulam merah putih di meja ini?
Karena cerutuku telah hampir usai sedangkan merah putih tetap menancap belati di warnanya
Mungkinkah Tuhan ada dalam warnanya?
Kuharap
Meski cerutuku jadi debu
Tuhan tetap kita hadirkan menjadi satu dekap
Tak hanya pada helaian nafasku yang ketujuh puluh dua
Namun pada hari yang merimbun setelahnya
Karena Tuhan telah menyatakan yang merah akan menyatukan putih yang begitu menyengat hingga Tuhan sebagai pemenang atas perbedaan warna di negeri ini atas siang dan malam
Dan kita mari larungkan setengah seduhan kopi, bahwa bicara tuhan begitu berbeda tapi tetap Esa dalam dua warna.
Bogor; 18 Agustus 2017
Burung-Burung Rantau
Oleh; Yogen Sogen
Langit musim ini terlampau membara
Hingga elang jenuh mengepak
Ada camar dan Manyar di gubuk bisu
Mereka mengeja waktu untuk merantau ke negeri langit
Langit musim ini begitu gerah
Hingga rajawali bersemedi di mulut goa
Ada suara campakan kebodohan
Di mulut goa itu
Seolah ejaan waktu dari camar dan rajawali adalah kematian
Langit musim ini menenun tanya
Pada gersangnya savana di pinggir pantai
Bahkan laut membisu deburnya
Dan rimba emas berdenting; dekapku burung-burung peradu
Ketikanya
Di sebuah senja yang lelah
Pada ranting yang ranggas
Camar berorasi pada paduka langit
Biarkan kami mengeja sayap
Bukan waktu lagi
Ke pelukan rimba emas biar kami mendekap
Dan musim ini akan kami lelapkan
Biarkan kami mengeja sayap
Bukan waktu lagi
Dan kami kembali ketika langit sedang sepi
Mungkin juga tidak jika sayapku telah memudar ke arahmu.
Bogor; 30 Juli 2016
Puisi ini pernah dimuat dalam buku antologi puisi “Monolog Seekor Monyet” versi Sabana Pustaka bersama para penyair Indonesia
Penulis; Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pakuan Bogor
Ketua Presidium PMKRI cabang Bogor.
Penulis Buku Antologi Puisi “Nyanyian Savana”