Episode Sang Pembela : Pasar Tradisional

Pasar  tradisional dimanapun berada suasananya sama; guyup, ramai celoteh, damai, tanpa sekat bahkan kadang-kadang celoteh porno yang membuat gelak tawa. Itulah sesungguhnya Indonesia kita.

Pasar di Jakarta , di Bogor dan di Yogja isinya plek sama ; ” awas pantat loe segede tampah jangan nutupin dagangan gua nih yuu” celoteh seorang pedagang sayur betawi pada seorang wanita madura yang berjualan ikan segar di pasar Pademangan ; Jakarta Utara. Celoteh yang   kasar itu tidak membuat mbakyu madura tersinggung, bahkan mbakyu madura menjawab ” biarin ajah, klo tak goyang juga sampeyan suka” . Jawaban yang hanya dimengerti orang dewasa meluncur nyaman dari si ayu Madura. Yang ada kemudian adalah gelak tawa.

Bacaan Lainnya

Pada meja lapak lain koh Aseng sedang menimbang daging B2 ( haram bagi muslim ) dan disebelahnya , didepannya tukang sayur, tukang kue pukis dan si ayu Madura tukang ikan segar, tidak ada rasa risih sama sekali. Mereka bercengkrama, bahkan sebatang rokok dari kok aseng berpindah tangan pada pedagang sayur . Tidak ada sekat, tidak ada lontaran-lontaran kebencian haram, kafir antara mereka.

Ditengah jalan yang sempit ;  becak, sepeda , gerobak dan lalu lalang manusia  saling bersenggolan satu sama lain, tidak ada keributan. Tukang obat (saya dengar yang sudah kadaluarsa, dijual murah ) sedang berceloteh, orasi dengan lincahnya memainkan kata “pokoknya obatnya mujarablah”.

Agak berbeda hanya ritmenya saja, ketika saya ke pasar Prawirotaman di Yogjakarta. Bahasa yang beredar homogen jawa, tetapi celoteh antra pedagang sama saja. Bahkan diantara pedagang yang sesuku sama ( jawa) berbeda agama, tidak ada masalah (di Yogjakarta , banyak orang jawa non muslim , mereka ke gereja pada hari Minggu) . Tidak ada sekat, suasana guyub bahkan magis terasa di pasar itu. Saya seperti ditarik jauh kebelakang melihat si mbok, nenek tua yang sehat berpakaian kebaya dan menggunakan jarik batik duduk bersimpuh seperti melihat ibuku . Situasi ini membangkitkan memori sendu , seperti udara dari paru-paru  tertahan ditenggorokan,  menggejolakkan rasa cinta tanah air. Aku sempatkan juga walau belum mandi sarapan nasi gudeg; wow nikmat.

Suasana guyup, tanpa sekat, penuh canda kadang-kadang kasar dan porno tapi penuh gelak tawa itu sangat kita butuhkan saat ini. Suasana pasar tradistional, yang penghuninya beragam etnis, bahasa dan agama, berinteraksi erat dengan damai perlu dihadirkan dalam suasa politik kita saat ini yang di desain penuh intrik jahat, lontaran kebencian, tersekat/ tersegregasi. Bahkan kata-kata kafir,haram sebagai idiom-idiom agama yang produksi massal untuk memisah-misahkan warga, sehingga tercipta situasi matang untuk mempraktekan politik devide et impera ( pecah belah) dimasyarakat.

Para peminpin melontarkan segala isue yang bikin situasi panas, terbelah, membelah persaudaraan bangsa; mulai isue komunisme, g30spki, isue senjata import, konflik berbasis sara dll. Justru para pemimpin (politisi) model inilah sesungguhnya  yang harus diminta pertanggung jawaban oleh warga atas situasi panas ini. Warga yang damai, guyup, tanpa sekat dicerai berai oleh perilaku, tindakan dan ucapan politisi.

Kalau ada revolusi rakyat , maka merekalah yang harus ditangkap, dan diadili dalam pengadilan rakyat untuk diminta pertanggung jawabannya. Masalahnya masyarakat kita sudah tidak mungkin bisa revolusi,syarat-syarat untuk itu tidak tersedia.

Baca Juga : [button link=”http://headlinebogor.com/kabupaten-bogor/hujan-semalaman-desa-telukpinang-ciawi-longsor” color=”red” newwindow=”yes”] Hujan Semalaman, Desa Telukpinang Ciawi Longsor[/button]

Sadarlah hai kamu politisi busuk, ulahmu telah membuat bangsa ini terbelah. Nanti kamu tak tenggelamkan ya !!!

Salam sang Pembela
3 Oktober 2017. Pasar Prawirotaman, Yogyakarta.