BOGOR – Pakar hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), DR Yenti Ganarsih menyampaikan perlunya hukum acara yang jelas terkait penggunaan pasal 19 UU Tipikor yang mengatur mengenai keberatan atas perampasan aset milik pihak ke-tiga yang beritikad baik, dalam perkara korupsi yang terkait dengan TPPU.
Alasannya tidak ada batasan maupun aturan yang tegas bagi hakim dalam menangani perkara keberatan, yang terkait dengan penyitaan aset dalam kasus TPPU.
Hal ini disampaikan Yenti menanggapi maraknya perkara keberatan sita yang masuk ke Pengadilan Tipikor dalam kasus megakorupsi PT Asuransi Jiwasraya. Sejauh ini, lanjutnya, sudah ada sekitar 80 gugatan perkara keberatan dari pihak ke-3, yang terkait dengan perampasan aset, berupa polis milik nasabah dan rekening efek yang ikut disita dalam kasus Jiwasraya.
“Banyaknya keberatan terkait putusan perampasan aset dalam kasus tersebut, mengindikasikan ada yang tidak pas dalam proses sita aset yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam perkara TPPU” ujarnya.
Akibatnya banyak aset-aset yang tidak terkait dengan tindak pidana asal – ataupun tidak terkait dengan TPPU yang ikut disita. Seperti yang dialami ribuan nasabah dan pemegang polis asuransi PT Asuransi Jiwa Wanaartha, yang hingga kini masih memperjuangkan nasibnya.
Di luar itu, ada banyak juga pemilik rekening efek yang sahamnya ikut disita yang juga mengajukan keberatan atas putusan sidang PN Tipikor yang melakukan perampasan atas aset mereka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor ini menambahkan, dalam penanganan kasus TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum perlu berhati-hati. Sebab, dalam hal ini aparat memang bisa melakukan proses penyitaan baik melalui UU Tipikor, maupun dengan Undang-Undang TPPU, atau keduanya.