Bentrok dengan Aparat, Demo Guru Honorer di Cibinong

Cibinong (Headlinebogor.com) – Aksi unjuk rasa yang dilakukan guru honorer di Kabupaten Bogor berujung rusuh. Ratusan tenaga pendidik di Bumi Tegar Beriman ini terlibat aksi dorong-mendorong dengan petugas Satpol PP Kabupaten Bogor di depan pintu gerbang lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, kemarin siang.

Kericuhan ini bermula ketika waktu menunjukkan pukul 14:00 WIB. Demonstran yang sudah melaku­kan aksi unjuk rasa sejak 12:30 WIB ini meminta dipertemukan dengan Bupati Bogor Nurhayanti. Satu jam setengah sudah mereka menunggu, namun orang nomor satu di Kabupaten Bogor itu tak jua muncul. Sehingga, para demonstran mulai kesal dan tidak sabar hingga nekat menerobos pintu gerbang utama Pemkab Bogor.­

Pada saat melakukan ak­si dorong-dorong pagar, demonstran mendapatkan hadangan dari petugas Satpol PP dan aparat kepolisian yang berjaga. Entah bagaimana, saling maki terlontar dari para pengunjuk rasa dan petugas Satpol PP Kabupaten Bogor. Beberapa puing bekas makanan dan minuman pun sekejap beterbangan melintasi pagar berwarna hijau tersebut.

Petugas Satpol PP yang berjaga didominasi kaum muda ini mulai membuka pagar gerbang yang tadinya sempat ditutup untuk menghalangi para demonstran masuk ke dalam lingkup Pemkab Bogor. Mereka keluar pagar untuk mencari dan menangkap provokator yang menyebab­kan kericuhan ini berlangsung. Namun, aksi ini hanya berlang­sung lima menit karena aparat kepolisian dan beberapa guru honorer perempuan yang sudah berumur turun menenangkan situasi keadaan.

Adapun lima tuntutan yang disampaikan para tenaga honorer di Kabupaten Bo­gor. Di antaranya, meminta SK Bupati untuk sertifikasi dan pengajuan UNPTK. Lalu, memberikan tunjangan Ke­sejahteraan Pegawai (Kes­peg) tepat waktu. Kemudian, penetapan Upah Minimum Kerja (UMK) Kabupaten Bogor segera direalisasikan. Setelah itu, meminta BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan dapat digratiskan bagi seluruh guru honorer Kabupaten Bogor. Serta, mendesak Pemda mer­ekomendasikan seluruh guru honorer ditingkatkan sta­tusnya menjadi CPNS sesuai pendidikan dan masa kerja. “Lima poin ini sebenarnya ma­sih normatif, karena sudah dari 2016 kita suarakan dan dewan pun sudah menyepakatinya. Tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut dari pemer­intah,” kata Ketua Persatuan Guru Honor (PGH) Kabupaten Bogor Halim Sahabudin.

Jika tuntutan itu tidak ditin­daklanjuti, guru honorer itu mengancam akan melakukan aksi mogok mengajar. “Ini baru jilid satu, kalau tidak ada tindak lanjut akan ada jilid kedua dan kita lakukan somasi. Kalau diperlukan kita mogok ngajar sekalian seperti di Garut mencapai satu min­ggu,” pintanya.

Di sisi lain, ia juga menyayang­kan terkait surat edaran pelar­angan guru honorer mengikuti aksi unjuk rasa yang dikeluarkan Disdik Kabupaten Bogor. Kare­na, hal tersebut sudah jelas-jelas melanggar hak setiap orang yang diatur dalam perundang-undangan. “Itu kejadian di Cis­eeng, UPT-nya mengeluarkan surat edaran. Bahkan, membuat ancaman verbal kepada kepala sekolah yang mengizinkan guru honorer ikut demo akan dimutasi,” ujarnya.

Sementara itu, Guru Honorer di SMP N 1 Parung Panjang Nurhidayat meminta Pemkab Bogor dapat memberikan UMP bagi tenaga honorer di Kabupaten Bogor dan me­naikkan uang Kespeg dari sebesar Rp650 ribu menjadi Rp1 juta per bulan. “Kami meminta kedua hal itu. Gaji kami per bulan itu, khususnya guru honorer SMP negeri di bawah Rp1 juta. Kalau SD cuma Rp600 ribu per bulan,” kata lelaki yang sudah bekerja sejak 2001 ini.

Menurut lelaki yang mengajar sebagai guru agama ini, sejauh ini belum ada guru honorer di sekolah negeri Kabupaten Bogor mendapat sertifikasi. Sedangkan, guru honorer di sekolah swasta hanya dalam jangka lima tahun mengajar sudah bisa tersertifikasi. Se­hingga, diharapkan, pemerintah dapat mengeluarkan SK bupati agar para guru honorer dapat mengikuti tes sertifikasi. “Kalau dari surat tugas yang dikeluar­kan buat kami itu tidak cukup landasan hukumnya. Tujuan kita ikut sertifikasi agar mendapat­kan gaji per bulan yang bisa mencapai Rp1,5 juta,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Disdik Kabupaten Bogor TB Luthfie Syam menjelaskan, pi­haknya tidak pernah melarang guru honorer ikut melakukan aksi unjuk rasa. Karena, demo itu merupakan hak semua orang. Akan tetapi, yang jadi masalah adalah karena aksi ini dilakukan saat hari atau jam ker­ja, khawatir kehormatan mereka jatuh di mata masyarakat. “Saya juga tidak bodoh-bodoh amat dengan aturan, kalau melarang mereka sama saja bunuh diri. Saya cuma tidak mau nilai mer­eka jadi runtuh, makanya kita ingatkan,” kata Luthfie.

Menurutnya, ancaman melakukan aksi mogok kerja yang dilakukan guru hon­orer itu dipersilakan saja. Akan tetapi perlu diingat, mer­eka bekerja sesuai surat tugas yang diberikan. Sehingga, jika tetap melakukan itu akan ada aturan pegawai atau sanksi yang dapat dikenakan bagi mereka. “Kalau tidak merasa cocok ya jangan dilanjutkan, susah amat, yang mau saja. Kita ingatkan lagi, ketika mer­eka melamar kerja ke sekolah untuk jadi guru sudah ada kesepakatan yang terjadi loh, kaitan gaji kecil hingga lain se­bagainya dan mereka setuju,” ucapnya.

Terkait tuntutan guru honor­er, dijelaskan dia, sebenarnya sejak jauh-jauh hari sebelum pelaksanaan demonstrasi ini pihaknya sudah mengingat­kan. Pertama, kaitan dengan meminta SK bupati untuk sert­ifikasi dan pengajuan UNPTK, pemerintah sudah menge­luarkan surat tugas bagi se­banyak 12.601 guru honorer yang ditandatangani bupati langsung. Dalam artian, ketika guru honorer ingin membuat sertifikasi untuk UNPTK, hanya dengan surat tugas itu mereka bisa mengikuti uji sertifikasi. “Guru swasta saja yang dikelu­arkan yayasan surat tugasnya laku dan bisa mengikuti serti­fikasi. Masa surat tugas yang sudah ditandatangani bupati tidak. Tapi tetap saya tidak bisa menjamin, karena bisa tidak tersertifikasi itu domain­nya ada di Pemerintah Pusat,” imbuhnya.

Lalu, kaitan dengan Kespeg, dilanjutkan dia, sebenarnya jangan dulu berbicara kenaikan anggaran dari Rp500 ribu hing­ga Rp1 juta per bulan. Tetapi, berbicaralah mengenai nasib guru honorer sebanyak empat ribu orang yang sama sekali be­lum mendapatkan dana Kespeg sampai saat ini. “Kalau berbicara solidaritas, harusnya mereka juga memikirkan guru honorer yang belum menerima sepeser­pun. Kita juga lagi memikirkan mereka yang belum kebagian. Kita harus siapkan pelan-pelan,” tutupnya.

 

 

 

 

(Metropolitan.id)