Episode Sang Pembela; Wong Cilik

Wong cilik dalam bahasa jawa berarti orang kecil. Orang kecil bukan dalam makna denotatif ( leksikal) tapi dalam makna konotatif (kiasan) yang merujuk pada orang kabanyakan; yaitu orang miskin, buta hukum, pekerjaannya serabutan, petani, nelayan, buruh pabrik, pekerjaan kasar, kuli, tukang becak, sopir bahkan menganggur sama sekali.

Mereka adalah orang kebanyakan yang menempati populasi terbesar dalam struktur demografi Indonesia. Kalo diukur pendapatan mereka dibawah pendapatan perkapita Indonesia (dibawah 4 juta perbulan) bahkan bisa nol sama sekali. Wong cilik ini umumnya menerima nasib yang mereka jalani tanpa banyak protes, karena umumnya mereka menganut tata nilai Nrimo Ing Pandum ( menerima apa adanya nasib mereka , karena percaya Tuhan sudah mengatur nasib umatnya; rejeki, jodoh, hidup dan mati )

Sikap nrimo ing pandum ( nrimo ) inilah yang membuat para pejabat publik kita menjadi tenang kalo tidak juga menjalani kewajiban mensejahterakan wong cilik.

Bacaan Lainnya

Pada zaman orba, ketika ada lsm atau partai yang kemudian mengorganisir buruh, petani atau nelayan untuk memperjuangakan hak-hak dasar mereka dan mendidik wong cilik supaya faham hak dasar mereka sebagai warga negara serta menggugat untuk mendapatkannya maka pada masa itu gerakan-gerakan ini dicap sebagai gerakan kiri, komunis,PKI. Suasana ini juga terbawa sekarang label pki , komunis dimainkan oleh kelompok-kelompok tertentu dalam permainan politik kekuasaan dengan sasaran organisasi , tokoh, partai yang memperjuangkan keadilan sosial dan hak-hak dasar.

Wong cilik ini dikumandangkan pertama kali oleh Soekarno , Presiden pertama Indonesia , proklamator RI bersama Bung Hatta. soekarnolah yang dalam pergumulan batinnya dalam perjuangan memerdekakan Indonesia kerap melihat, mengalami pergumulan bangsanya Indonesia yang kebanyakan miskin, buta huruf, tertindas. Salah satunya adalah perjumpaannya dengan seorang bernama Marhaen disekitar Bandung selatan; seorang petani yang menggarap lahannya sendiri yang kecil, dengan alat-alat kerja miliknya sendiri , dan memakai hasil tanam padinya pemenuhan kebutuhan hidup keluarganya. Dari diskusi dengan Marhaen inilah berkembang konsep Marhaenisme.

Istilah wong cilik akan melekat erat pada PDIP, partai yang dalam nilai-nilai perjuangannya memperjuangkan nasib mereka wong cilik sebagaimana dicita-citakan oleh Soekarno ( pendisi PNI yang berfusi dengan beberapa partai lainnya menjadi PDI ) .walau ada kritik pada PDIP, apalagi ketika sedang memegang tampuk kuasa ada yang lalai lada nasib wong cilik akan tetapi pdip pernilai ideologisnya adalah partai yang memperjuangkan nasib mereka.

Mulyadi warga rw 03 kel. Sukasari kota Bogor yang saya temui dalam kunjungan rutin pada warga , adalah cermin wong cilik itu, tidak punya pekerjaan tetap, bertempat tinggal dilereng lereng kota yang berpotensi longsor dan tertimbun. Saat saya datang dihari minggu 30 Juli 2017 ia sedang tidur memakai kaos merah PDIP. Ia menegaskan ia adalah anggota PDIP.

Saya melihat kondisi rumahnya sudah  tidak  layak huni, atap rumah nyaris tanpa penutup atap, karena seng penutupnya sudah bertahun-tahun rusak, balok-balok kayu sudah runtuh , kalo hujan dipastikan rumah tersebut jadi kubangan air. Ia dan istri serta anak tidur memanfaatkan ruangan 2 x 2 yang tersisa tidak  terkena hujan.

Oleh pak Rw 02 kel. Sukasari sudah diajukan permohonan dana rutilahu , tetapi selama 2 tahun belum terealisasi alias tidak ada bantuan.pak mulyadi tidak punya penghasilan tetap. Boro-boro buat memperbaiki rumah, untuk makan saja sudah baik.

Saya tidak dapat mengelakkan diri atau pura-pura dalam kondisi ini. Saya faham kalo saya bantu akan menjadi pertanyaan ; apakah warga miskin lain juga akan dibantu? Pertanyaan yang sulit dijawab. Tetapi didepan mata saya nyata kemiskinan dan kondisi rumah yang nyaris tanpa atap itu. Saya putuskan akan membantu kayi dan seng penutup atap. Entah uang dari mana tapi saya akan bantu.

Nah inilah gambaran wong cilik itu. Nyata.

Salam dari warga miskin kota