
Oleh : Agung Surya Wijaya, S.P.
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia
Tulisan ini berisikan ulasan mengenai sejauh mana merebaknya fenomena democratic backsliding di Indonesia dewasa ini terutama pasca diselenggarakannya pemilu serentak tahun 2019. Berkembangnya fenomena tersebut dalam konstelasi perpolitikan Indonesia belakangan ini relatif tidak dapat dipisahkan dari berbagai isu yang kemudian menjadi diskursus publik di bawah rezim pemerintahan Jokowi-JK selama lima tahun terakhir ini. Adapun, isu isu itu kemudian merujuk pada sejumlah hal, seperti semakin meningkatnya praktik korupsi, pertumbuhan ekonomi yang relatif stagnan, polarisasi politik yang berkepanjangan hingga munculnya kontroversi dari berbagai kebijakan.
Bahkan, semua itu juga kemudian ditandai dengan adanya perubahan dalam konstelasi politik nasional dimana eksistensi oposisi mulai mengalami penurunan yang relatif signifikan pasca beralihnya sejumlah partai politik oposisi menjadi pendukung pemerintah. Meskipun perkembangan yang terjadi menjelang dan pasca diselenggarakannya pemilu serentak juga ditandai dengan perubahan yang sejenis, seperti dalam kasus bergabungnya Partai Gerindra ke dalam barisan pendukung pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.
Untuk itu, argumentasi dalam tulisan ini menyatakan bahwa perubahan dalam konstelasi politik pasca penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2019 kemudian dapat diidentifikasikan sebagai salah satu indikasi dari fenomena democratic backsliding yang terjadi di Indonesia. Secara garis besar, fenomena democratic backsliding sendiri kemudian dapat dimaknai sebagai suatu kondisi dimana telah terjadi kemunduran dalam perkembangan demokrasi. Istilah itu sendiri juga memiliki kesamaan makna dengan istilah-istilah lainnya, seperti democratic regression, frozen democracy dan lain sebagainya.
Adapun, untuk menjelaskan relevansinya dalam kasus di Indonesia, tulisan ini kemudian menggunakan sejumlah perspektif, seperti yang dikembangkan oleh Eve Wartubon dan Edward Aspinall serta George Sorensen. Bagi Wartubon dan Aspinall, munculnya fenomena democratic regression di Indonesia sebenarnya sudah dapat diidentifikasi sejak tahun 2014 dimana terdapat dua indikasi utama untuk melihatnya, 2 yakni merujuk pada berkembangnya fenomena illiberal democracy serta penyelenggaraan pemilu yang curang dan manipulatif. Adanya kondisi tersebut kemudian diidentifikasi oleh mereka sebagai bagian dari gejala berakhirnya gelombang demokratisasi ketiga di dunia.
Bahkan, hal ini diperkuat melalui perspektif dari Freedom House yang kemudian menyatakan bahwa terdapat 71 negara yang tengah mengalami gejala penurunan hak politik dan kebebasan sipil, dimana hanya 35 negara diantaranya yang masih berkualitas baik. Sedangkan, perspektif yang dikembangkan oleh Sorensen justru menyatakan bahwa Indonesia tengah mengalami fenomena frozen democracy dimana perkembangan demokrasi cenderung bersifat stagnan.