Paralegal Tidak Boleh Tangani Perkara di Pengadilan | Headline Bogor

Dikabulkannya uji materi Permenkumham No.1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum akhirnya terjawab. Mahkamah Agung (MA) melansir putusan uji materi Permenkumham yang membatalkan ketentuan paralegal yang boleh memberi bantuan hukum secara litigasi di pengadilan. Permenkumham ini sebelumnya dipersoalkan sejumlah 18 advokat yang diketuai oleh Bireven Aruan melalui uji materi di MA.

Dengan demikian, paralegal yang sebelumnya dapat memberi bantuan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi dengan adanya Permenkumham No. 1 Tahun 2018. Kini, paralegal tidak dapat memberi bantuan hukum secara litigasi (beracara di pengadilan). Jadi, hanya advokatlah yang dapat memberikan bantuan hukum secara litigasi.

“Menyatakan Pasal 11 dan 12 Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum bertentangan dengan Peraturan Perundangan yang lebih tinggi, yakni UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat,” demikian bunyi amar putusan MA No. 22 P/HUM/2018, yang dilansir di website Direktorat Putusan Mahkamah Agung, Rabu, (4/7/2018).

Dalam putusannya, Majelis MA perkara ini yang diketuai Irfan Fachruddin beranggotakan Yosran dan Is Sudaryono, memerintahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencabut Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham No. 1 Tahun 2018 tentang Paralegal dalam Pemberian bantuan hukum. Selanjutnya, mencantumkan petikan putusan ini dalam berita negara.

Sebelumnya, tercatat sebagai pemohon dalam permohonan uji materi ini yakni Bireven Aruan, Johan Imanuel, Martha Dinata, Abdul Jabbar, Irwan Gustaf Lalegit, Ika Arini Batubara, Denny Supari, Liberto Julihatama, Steven Albert, Abdul Salam, Ade Anggraini, Arnol Sinaga, Asep Dedi, Indra Rusmi, Fista Sambuari, Alvin Maringan, Teuku Muttaqin, Endin.

Para pemohon beranggapan pembentukan Permenkumhan No. 1 Tahun 2018 tersebut cacat hukum karena perumusannya tidak berpedoman pada UU Advokat. Selain itu, Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham 1/2018 yang pada pokoknya mengatur paralegal dapat memberi bantuan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi dirasa telah merugikan para advokat karena diduga dapat mengambil alih profesi advokat, sehingga seharusnya dibatalkan.

Menurut para pemohon, paralegal tidak melalui jenjang pendidikan S-1 (ilmu hukum) dan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) serta disumpah dan dilantik di Pengadilan Tinggi. Namun, kedudukan dan fungsinya disamakan dengan advokat. Selain itu, pemohon beralasan adanya pelatihan paralegal tanpa syarat sarjana dapat membuat kurangnya minat masyarakat untuk menempuh ilmu hukum pada perguruan tinggi.

Dalam pertimbangannya, Majelis menilai Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham tersebut memberi ruang dan kewenangan bagi paralegal untuk dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan. Karenanya, ketentuan itu dapat dimaknai paralegal menjalankan sendiri proses pemeriksaan persidangan di pengadilan, bukan hanya sebatas mendampingi atau membantu advokat.

Menurut Majelis, mengenai siapa yang dapat beracara dalam proses persidangan telah diatur dalam Pasal 4 jo Pasal 31 UU Advokat. “Hanya advokat yang telah bersumpah di sidang terbuka Pengadilan Tinggi yang dapat menjalankan profesi advokat untuk dapat beracara dalam proses pemeriksaan persidangan di pengadilan,” demikian alasan majelis dalam putusannya.

Selain bertentangan dengan UU Advokat, materi muatan Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham ini melanggar asas lex superior derogate legi inferior. Tak hanya itu, kedua pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Sehingga, Pasal 11 dan Pasal 12 harus dibatalkan,” tegas Majelis.

Terkait permohonan mengenai Pasal 4 huruf c Permenkumham tersebut yang berbunyi “memiliki pengetahuan tentang advokasi masyarakat,” dan huruf b berbunyi “berusia paling rendah 18 tahun,” serta Pasal 7 huruf c yang berbunyi “pelatihan dapat dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat yang memberikan Bantuan Hukum,” tidak dikabulkan oleh MA.

Alasan Majelis, Pasal 4 huruf b dan c serta Pasal 7 ayat (1) huruf c tidak melanggar asas lex superior derogate legi inferior dan tidak bertentangan dengan UU Advokat. Sebab, paralegal melaksanakan fungsi “membantu” tugas-tugas legal yang dilakukan advokat dan syarat-syarat dan penyelenggaraan pelatihannya tidak sama dengan advokat.

Karenanya, paralegal sebagai pelaksana fungsi membantu advokat, syarat termasuk usia dan pengetahuan serta penyelenggaraan pelatihannya tidak bertentangan dengan UU Advokat. “Karena paralegal tidak melaksanakan fungsi advokat, tetapi membantu advokat,” tegasnya.

Menanggapi putusan ini, salah satu pemohon, Johan Imanuel mengapresiasi putusan MA ini. “Putusan ini sudah sangat tepat dan menjaga marwah profesi advokat sebagai officium nobile. Bagaimanapun paralegal tidak dapat berdiri sendiri dan hanya berfungsi membantu advokat,” kata Johan kepada Hukumonline, Jakarta, Rabu, (4/7/2018).

Menurut Johan, Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham ini merupakan pasal krusial yang berpotensi mengganggu profesi advokat. Sebab, seolah-olah kedua pasal ini ingin mengambil alih profesi advokat. “Saat ini MA telah memutus Pasal 11 dan 12 bertentangan dengan UU Advokat, maka para advokat Indonesia pastinya berharap agar pemerintah segera mencabut ketentuan ini. Dan tidak menafsirkan di luar apa yang telah diputus MA bahwa paralegal tidak dapat sejajar dengan advokat,” tegasnya.

Dia berharap adanya putusan MA ini, pemerintah tidak sembarangan membuat peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan tumpang tindih (bertentangan) dengan peraturan yang lebih tinggi. “(Seharusnya) kalau mau membuat produk-produk hukum seperti ini harus melibatkan para advokat agar sistem litigasi dalam peradilan tidak kabur,” sarannya.

Sumber hukumonline.com