Revitalisasi Pola Asuh Tradisional Wujudkan Generasi Emas Bangsa | Headline Bogor

Oleh : UNZURNA
Mahasiswi Universitas Pakuan
Kader Himpunan Mahasiswa Islam

Anak bukanlah sekedar buah hati orang tua yang senantiasa dinantikan kehadirannya, tetapi juga merupakan aset Negara yang tak ternilai harganya. Kebanggaan orang tua terhadap anaknya pun juga merupakan kebanggaan Negara. Setiap anak harus mendaptkan bekal keimanan, kepribadian, kecerdasan, keterampilan, semangat kebangsaan serta kebugaran jasmani agar dapat tumbuh kembang menjadi manusia yang berbudi luhur, bersusila, cerdas dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pola asuh anak tentu bukanlah perkara yang remeh. Penerapan pola asuh yang tepat menjadi ukuran keberhasilan orang tua. Setiap orang tua memiliki beragam cara dalam mendidik buah hati mereka.
Pola asuh sendiri terdiri dari dua kata yaitu, Pola dan Asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ) Pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk ( struktur ) yang tetap. Sedangkan kata Asuh dapat berarti menjaga ( merawat dan mendidik ) anak kecil, membimbing ( membantu, melatih, dan sebagainya ) lebih jelasnya pola asuh adalah mencangkup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan, perawatan, dukungan dan bantuan sehingga orang tetap berdiri menjalani hidupnya secara sehat ( Elaine Donelson, 1990:5)

Menurut Ahmad Tafsir seperti yang dikutip oleh Danny I. Yatim Irwanto ( 1991:94) Pola asuh berarti pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak menuju kepribadian yang utama.

Secara teoritis setidaknya terdapat tiga pola asuh anak yang familiar dimasyarakat diantaranya, Pola asuh Otoriter, Demokratis dan Laissez Faire.

1. Otoriter
Pola asuh otoriter adalah cara mengasuh anak yang dilakukan orang tua dengan menentukan sendiri aturan -aturan dan batasannya yang mutlak harus ditaati oleh anak tanpa kompromi dan memperhitungkan keadaan anak.
Adapun ciri-ciri dari pola asuh otoriter menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal ( 1992:88) adalah sebagai berikut :
Anak harus mematuhi peraturan-peraturan orang tua dan tidak boleh membantah Orang tua cenderung mencari kesalahan-kesalahan anak dan kemudian menghukumnya
Orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak. Jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak maka anak dianggap pembangkang Orang tua cenderung memaksakan disiplin Orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu kepada anak dan anak hanya sebagai pelaksana Tidak ada komunikasi anatara orang tua dan anak.

2. Demokratis
Menurut Utami Munandar ( 1982:98) pola asuh demokratis adalah cara mendidik anak dimana orang tua menentukan peraturan tetapi dengan memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak . Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak namun kebebesan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak (Singgih D. Gunarsa, 1995:84)

Menurut Zahara Idris dan Lisna Jamal (1910:87 ) ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut :
Menentukan peratura dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan-alasan yang dapat diterima, dipahami, dan dimengerti oleh anak
Memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan perbuatan buruk agar ditinggalkan
Memberikan bimbingan dengan penuh pengertian Dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga Dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga

3. laissez Faire
Pada pola asuh ini anak dipandang sebagai mahluk hidup yang berpribadi bebas. Anak adalah subjek yang dapat bertindak dan berbuat menurut hati nuraninya. Orang tua membiarkan anaknya mencari dan menentukan sendiri apa yang di inginkannya. Kebebasan sepenuhnya diberikan kepada anak. Orang tua seperti ini cenderung kurang perhatian dan acuh tak acuh terhadap anaknya. Metode seperti ini cenderung membuahkan anak nakal yang manja, lemah, tergantung dan bersifat ke kanak-kanakan secara emosional.

Menurut Zahara Idris dan Lisma Jamal ( 1992:89 ) yang termasuk pola asuh Laissez Faire adalah sebagai berikut :
Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa monitor dan membimbingnya
Mendidik anak acuh tak acuh, bersikap pasif dan masa bodoh
Mengutamakan kebutuhan material saja
Membiarkan apa saja yang akan dilakukan anak Kurangnya keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga

Terlepas dari tiga jenis pola asuh anak yang telah saya kemukakan di atas, terdapat pula pola asuh yang menarik untuk dibahas disini yaitu, Pola Asuh Tradisional.

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi ( IPTEK ) yang semakin pesat menuntut perubahan dari setiap sudut kehidupan manusia tak terkecuali dengan pola mengasuh anak. Cara-cara mengasuh anak pun semakin modern disandingkan dengan pemanfaatan teknologi seperti halnya gadget ( memutarkan musik sebagai pengantar tidur anak atau sekedar menghiburnya saat sedang menangis ). Tentu masih kental di ingatan kita semua bagaimana cara orang tua mendidik kita yang dimana didikan tersebut juga merupakan adopsi baik sebagian maupun keseluruhan dari didikan orang tua mereka secara turun-temurun. Pola asuh anak dengan cara-cara tradisional hampir jarang dan sulit di temukan di era yang modern ini. Sementara secara entitasnya sendiri pola asuh tradisional sangat kental dengan adat istiadat serta sistem kepercayaan masyarak yang sesuai dengan daerahnya masing-masing.
Dilansir dari situs famiyishare dalam sindo news.com pola asuh tradisional sudah menjadi trend pola asuh anak sejak tahun 2016. Pola asuh yang harus diterapkan diantaranya :

1. Permainan Tradisional
Jika pada tahun-tahun sebelumnya permainan gadget mendominasi, kini saatnya ajak si kecil untuk bermain permainan tradisional seperti petak umpet, lompat tali, main kelereng dll. Dengan begitu, anak akan banyak mengalami kontak fisik dengan kehidupan nyata, bukan dengan dunia gadget.

2. Nama Tradisional
Tidak jarang orang tua memberikan nama anak dengan nuansa kebarat-baratan yang ter-inspirasi dari nama artis maupun tokoh-tokoh idola mereka. Perasaan risih, serta malu karena terkesan kampungan menjadi penguat orang tua enggan menamai anaknya dengan nama-nama tradisional. Namun kini mulailah berikan nama anak dengan nama-nama tradisional karena dengan begitu anak akan lebih mengenal daerah kelahirannya.

3. Mencantumkan Nama Keluarga
Bak setali tiga uang dengan nama tradisional terkadang juga perasaan risih untuk mencantumkan nama kelurga di belakang nama anak masih dirasakan oleh orang tua. Namun kini mulailah mencantumkan nama keluarga di belakang nama anak. Sebab dengan begitu anak tidak hanya mengenal identitasnya saja, melainkan juga mengenal identitas kelurganya.

4. Lebih Mandiri
Terlalu mengekang anak membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang pesimis, takut untuk bertindak serta membuat dirinya minder terhadap teman-temannya. Berikanlah kebebasan kepada anak namun tetap selalu dalam pengawasan sehingga anak dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya serta memiliki sifat mandiri dan bertanggung jawab.

Kesadaran orang tua sedini mungkin untuk mulai merevitalisasi pola asuh tradisional sangatlah penting. Terkhusus bagi ibu maupun para calon ibu yang menjadi madrasah pertama bagi anak harus memahami betul konsep pola asuh tradisional sehingga penerapan pola asuh tradisional menjadi tepat sasaran. Karena penerapan pola tradisonal bukan berarti meninggalkan seluruh hal yang modern namun bijak menempatkan pola modern tersebut. Oleh sebab itu pendidikan menjadi visi utama untuk menjadikan bangsa ini makmur. Sebab negeri yang makmur terwujud dari generasi emasnya. generasi emas lahir dari orang tua yang hebat serta ibu yang cerdas. Jangan menjadikan Hari Anak Nasional sebagai ajang seremonial saja untuk sekedar mendegar sambutan dari kepala daerah, pejabat-pejabat instansi yang sungguh membosankan ataupun sekedar melibatkan diri dalam kegiatan yang tujuannya tidak jelas. Meledak dasyat diawal namun tidak meninggalkan impression ( kesan ) yang berarti untuk anak dan bangsa.