JAKARTA – Narasi soal tenggat waktu pengosongan wilayah Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau sampai 28 September 2023, demi pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City dinilai kontraproduktif di tengah upaya Pemerintah yang ingin mencari titik temu persoalan ini.
“Hemat saya, adanya narasi Pulau Rempang harus kosong sampai 28 September 2023 bukan narasi komunikasi yang baik. Narasi ini terkesan seperti monolog, padahal yang dibutuhkan saat ini adalah dialog atau mengedepankan komunikasi dengan warga yang terdampak,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (19/9).
Fahira Idris juga menekankan, narasi Pulau Rempang harus segera dikosongkan sama saja menyempitkan ruang dialog dengan warga yang seharusnya saat ini dibuka seluas-luasnya.
“Saya berharap narasi soal tenggat waktu pengosongan ini tidak lagi dikemukakan karena saat ini warga masih menolak direlokasi dari lahan yang sudah mereka tinggali turun temurun,” lanjutnya.
Dalam konteks ini, Fahira Idris mengusulkan bahwa jika Pemerintah ingin menemukan solusi yang baik untuk persoalan PSN Rempang Eco City, pendekatannya perlu menjadi komprehensif tanpa harus terpaku pada tenggat waktu yang telah ditetapkan.
“Adanya konflik warga dengan aparat akibat pengembangan Rempang Eco City yang akan menjadi daerah industri, perdagangan, dan wisata ini membuktikan bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong. Harus ada opsi-opsi lain, selain merelokasi warga terutama yang ada di 16 Kampung Melayu Tua yang diperkirakan sudah ada di pulau ini sejak ratusan tahun lalu,” tambah Fahira Idris. (*/DR)