Indonesia Jadi Tuan Rumah Kesusastraan Asean

Jakarta – Ditetapkannya Indonesia menjadi tuan rumah seminar kesusastraan Asia Tenggara atau yang lebih dikenal sebagai seminar Antar Bangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT), disambut baik oleh semua pihak. Khususnya Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dadang Sunendar.

SAKAT yang diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 11 hingga 12 September 2017 ini dihadiri oleh banyak banyak negara ASEAN, seperti Indonesia sebagai tuan rumah, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang tergabung dalam Majelis Keusatraan (Mastera)
Ditemui di Jakarta pada Senin kemarin, Dadang menunjukan kebahagiaannya dalam menyambut seminar ini, “Kami menyambut gembira kehadiran para perutusan beserta anggota perutusan dari negara anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).
Dalam sejarahnya, tujuan didirikannya Mastera itu sendiri adalah untuk menduniakan sastra Indonesia atau Melayu, Bukittinggi di Sumatera Barat pun dipilih sebagai tempat pendeklarasian pada tahun 1995.
Menurut Dadang banyak negara ASEAN yang mempunyai kesamaan dalam aspek bahasa dan sastra, yang membedakan hanyalah sejarah masing-masing negara yang menghasilkan karakter dan keragaman yang tidak selalu sama antar negara.
Dadang mengerti bahwa pemahaman lintas budaya antar bangsa Mastera akan semakin kuat, ini karena negara-negara Mastera telah bekerja sama dalam mengembangkan kesusastraan dalam negeri serumoun. Hal ini menumbuhkan persamaan terhadap perkembangan kesusastraan di negara masing-masing.
Persamaan ini pun dipercaya dapat dijadikan alat dalam mewujudkan keharmonisan antar bangsa serumpun, khususnya bagi negara-negara ASEAN.
SAKAT yang membahas berbagai topik mengenai kesusastraan di Asia Tenggara ini mengangkat tema “Teori dan Kritik Sastra Loka (Sastra Tempatan),” materi yang diangkat antara lain estetika, teori, dan kritik sastra dalam karya-karya sastra di Asia Tenggara.
Kegiatan seminar ini pun turut dihadiri pemakalah dari berbagai negara seperti Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand, Australia bahkan dari China dan Brazil, dan tidak ketinggalan dari Indonesia. Para pemakalah ini akan membahas tentang teori nilai satra profetik dan sastra berasaskan islam, estetika paradoks Jakob Sumardjo dan teori SUKUT.


“Semoga Mastera bisa mendunia, saya senang bisa menghadiri acar berkelas, temanya menarik.. semoga kedepannya Mastera dapat newadahi sastra muda ke arah dunia,” ujar Wildan, dosen FKIP Pakuan yang juga penulis kisah sarjana di tepian baskom.
Selain Wildan, kegiatan seminar ini juga dihadiri banyak perwakilan dari FKIP Pakuan seperti Ibu SriRahayu dan Ibu Stella.
Dadang mengharapkan diselenggarakannya seminar ini dapat menstimulus bagi momentum untuk diserminasi hasil pengembangan teori dan kritik sastra loka tempatan di kawasan ASEAN dan dunia.Ditetapkannya Indonesia menjadi tuan rumah seminar kesusastraan Asia Tenggara atau yang lebih dikenal sebagai seminar Antar Bangsa Kesusastraan Asia Tenggara (SAKAT), disambut baik oleh semua pihak. Khususnya Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Dadang Sunendar.
SAKAT yang diselenggarakan di Jakarta dari tanggal 11 hingga 12 September 2017 ini dihadiri oleh banyak banyak negara ASEAN, seperti Indonesia sebagai tuan rumah, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, dan Thailand yang tergabung dalam Majelis Keusatraan (Mastera)
Ditemui di Jakarta pada Senin kemarin, Dadang menunjukan kebahagiaannya dalam menyambut seminar ini, “Kami menyambut gembira kehadiran para perutusan beserta anggota perutusan dari negara anggota Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera).
Dalam sejarahnya, tujuan di dirikannya Mastera itu sendiri adalah untuk menduniakan sastra Indonesia atau Melayu, Bukit tinggi di Sumatera Barat pun dipilih sebagai tempat pendeklarasian pada tahun 1995.
Menurut Dadang banyak Negara ASEAN yang mempunyai kesamaan dalam aspek bahasa dan sastra, yang membedakannya hanyalah sejarah masing-masing negara yang menghasilkan karakter dan keragaman yang tidak selalu sama antar negara.
Dadang mengerti bahwa pemahaman lintas budaya antar bangsa Mastera akan semakin kuat, ini karena negara-negara Mastera telah bekerja sama dalam mengembangkan kesusastraan dalam negeri serumpun. Hal ini menumbuhkan persamaan terhadap perkembangan kesusastraan di negara masing-masing.
Persamaan ini pun dipercaya dapat dijadikan alat dalam mewujudkan keharmonisan antar bangsa serumpun, khususnya bagi negara-negara ASEAN.
SAKAT yang membahas berbagai topik mengenai kesusastraan di Asia Tenggara ini mengangkat tema “Teori dan Kritik Sastra Loka (Sastra Tempatan),” materi yang diangkat antara lain estetika, teori, dan kritik sastra dalam karya-karya sastra di Asia Tenggara.
Kegiatan seminar ini pun turut dihadiri pemakalah dari berbagai negara seperti Brunei, Malaysia, Singapura, Thailand, Australia bahkan dari China dan Brazil, dan tidak ketinggalan dari Indonesia. Para pemakalah ini akan membahas tentang teori nilai satra profetik dan sastra berasaskan Islam, estetika paradoks Jakob Sumardjo dan teori SUKUT.
“Semoga Mastera bisa mendunia, saya senang bisa menghadiri acar berkelas, temanya menarik. Semoga kedepannya Mastera dapat mewadahi sastrawan muda ke arah dunia,” ujar Wildan, dosen FKIP Pakuan yang juga penulis Kisah Sarjana di Tepian Baskom.
Selain Wildan, kegiatan seminar ini juga dihadiri banyak perwakilan dari FKIP Universitas Pakuan seperti Ibu Sri Rahayu dan Ibu Stella.
Dadang mengharapkan diselenggarakannya seminar ini dapat menstimulus bagi momentum untuk diserminasi hasil pengembangan teori dan kritik sastra loka tempatan di kawasan ASEAN dan dunia (AP)