Rekaman musik menjadi salah satu bidang usaha di Indonesia sejak 1954. Ini ditandai ketika berdiri usaha rekaman Irama, disusul Dimita dan Remaco di Jakarta. Lalu perusahaan rekaman milik negara, Lokananta di Solo pun muncul. Pada masa ini media rekam menggunakan piringan hitam. Irama memulai usaha pertama kali dengan merekam sebuah quintet yang terdiri dari Dick Abel, Max van Dalm, Van der Capellen dan Nick Mamahit. Koes Bersaudara atau Koes Plus merekam lagunya pertama tahun 1962. Dimita mulai dengan merekam lagu Panbers lalu Koes Bersaudara pada 1969. Sementara Lokananta merekam lagu-lagu daerah dan tradisional, terutama keroncong dan langgam Jawa dalam piringan hitam sejak tahun itu hingga 1964.
Media rekam berpindah menggunakan pita kaset pada 1964. Perusahaan Remaco mulai memproduksi rekaman kaset tahun 1967 dengan merekam penyanyi Broery Pesolima, Eddy Silitonga, Ernie Djohan, Tetty Kadi, Lilies Suryani, Ida Royani, Benyamin S, Hetty Koes Endang, Rhoma Irama, Elvy Sukaesih, grup Empat Nada, Koes Plus, Mercy’s, D’lloyd, Favouriet’s, Panbers, Bimbo, The Pros, The Crabs. Album pertama mereka ini direkam dengan menggunakan media kaset, masing-masing sebanyak 5.000-10.000 kaset untuk setiap judul.
Sejak era 2000 media rekaman musik di Indonesia memasuki era baru dalam format cakram CD/VCD/DVD, juga MP3 sebagai pengganti kaset. Era ini sekaligus genta kematian era kaset rekaman. Perkembangan teknologi digital memicu pembajakan merajalela. Data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), menyebut pada 2008 produk bajakan di Indonesia peredarannya mencapai 90% dari produk asli. Hanya 10% saja produk rekaman asli beredar di pasaran. Maknanya, 1 album resmi dirilis, 9 bajakannya sudah muncul di pasaran. Penjualan album rekaman legal terus menurun drastis hingga 20% tiap tahun. Perusahaan rekaman pun banyak yang ambruk.
Persoalan produksi rekaman dan pembajakan ini memicu kelesuan produksi rekaman musik. Jika pada 2005 jumlah kaset, CD dan VCD yang beredar di Indonesia mencapai angka 30.032.460 keping, maka pada 2006 angkanya sudah menciut menjadi 23.736.355 keping. Terus menurun pada 2007 hingga mencapai angka 19.398.208. Dan hanya sekitar 15 jutaan yang beredar pada 2008.
Data itu menggambarkan rata-rata penurunan peredaran cakram audio dan video legal di Indonesia mencapai sekitar 20% tiap tahun. Persoalan ini tidak berhenti di sana. Seperti efek domino banyak toko-toko kaset dan CD yang tutup, digantikan lapak penjualan CD/VCD yang menjamur di kaki lima, serta peredaran illegal music secara peer to peer (P2P).
Kompas, 24 November 2015 menyebut berdasarkan hasil survei ASIRI tahun 2013, setiap hari terjadi sekitar 6 juta kali pengunduhan ilegal lagu melalui internet yang mengakibatkan kerugian industri rekaman sekitar Rp 6 miliar per hari atau Rp 180 miliar per bulan atau Rp 2,16 triliun per tahun. Untuk menekan angka pembajakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2015 menutup 22 situs musik ilegal yang melanggar hak cipta atas karya musik.
Seperti yang terlihat dalam catatan perkembangan industri rekaman Indonesia, nampak andil perusahaan rekaman dalam perkembangan industri musik Indonesia. Musik sebagai karya intelektual harus dilindungi. Undang-undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 mengatakan bahwa “hak eksklusif’ adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi.
Pemberantasan pembajakan hak cipta memerlukan edukasi. Edukasi tentang apresiasi dan perlindungan terhadap karya intelektual harus dilakukan secara sistemik. Edukasi tidak hanya berlaku untuk lingkungan industri rekaman musik, namun seluruh masyarakat penikmat musik. Orang bilang musik adalah bahasa universal. Alangkah keringnya hidup tanpa musik. Jika anda sependapat dengan saya mari hargai hak atas karya intelektual orang lain, dengan hanya membeli dan mendengarkan musik secara legal. Saya yakin dengan demikian kita telah berbuat adil.
Perbuatan adil ini akan menumbuhkan para pemusik untuk terus berkarya, perusahaan rekaman musik terus berproduksi, toko-toko musik terus berjualan hasil rekaman musik, dan perpustakaan-perpustakaan menyimpan dan melayankan berbagai karya musik sebagai produk budaya, lalu roda ekonomi pun terus bergerak secara harmonis, karena setiap orang dan setiap elemen masyarakat saling menghidupi, bukan saling mematikan. Semoga. Selamat pagi, salam sehat.
Oleh : Dr. Joko Santoso, M, Hum,
(Biro Perencanaan dan Keuangan, Perpustakaan Nasional RI)