Jika mendengar kata “Cimande” yang ada di benak kita tentu saja seni beladiri Silat. Ya, seni beladiri silat Cimande sudah sangat terkenal bahkan hingga ke Mancanegara. Atau jika mendengar kata Cimande mengingatkan kita mengenai pengobatan patah tulang tradisional, itu pun tidak salah karena sejak dari zaman dahulu hingga saat ini praktek pengobatan patah tulang masih dapat dijumpai di sekitar wilayah Cimande. Demikian juga dengan pesantren, ada sekitar beberapa pesantran tempat menuntut ilmu agama di Cimande yang tersohor sampai ke provinsi Banten. Selain itu Cimande juga menjadi salah satu alternatif wisata, karena bentangan alam yang indah, pesawahan yang membentuk terasering tidak kalah dengan Ubud Bali, demikian juga udara nya yang tergolong masih sejuk karena wilayah ini berada di kaki gunung Gede Pangrango, tak heran kini banyak bermunculan villa-villa yang ditempati seminggu sekali sekedar untuk menghabiskan akhir pekan.
Menelusuri lebih jauh wilayah Cimande ternyata ada satu keunikan dan potensi ekonomi dan budaya, ya disinilah dapat dijumpai pengrajin layang-layang. Layang-layang tentunya sudah sangat dikenal di seantero masyarakat Indonesia. Disetiap rumah penduduk dapat ditemui para pemuda, kaum ibu bahkan anak-anak sibuk membuat kerangka (arpu) menempel kertas dan mewarnai layang-layang, demikian juga dengan produksi benang layang-layang di beberapa rumah terlihat beberapa orang sibuk membuat benang layang-layang. Sentra pengrajin layang-layang Cimande dapat ditemui di Kampung Babakan, Kampung Cikodok, Kampung Bendungan, Kampung Legok dan Kampung Pabangbon.
Jalaludin salah seorang pengrajin di Kampung Legok mengungkapkan, bahwa asal-usul layang-layang di buat di Cimande tidak diketahui kapan pertama kali dimulai, namun konon katanya keahlian membuat layang-layang berawal dari seorang warga Sukabumi yang saat itu menuntut ilmu agama dan beladiri di salah satu pesantren di Cimande, ditengah kesibukan menuntut ilmu dan belajar silat Cimande, warga Sukabumi tersebut membuat layang-layang untuk dipergunakan sendiri, ternyata banyak juga warga yang menyenangi sehingga dibuat dalam jumlah yang banyak dan kemampuan membuat layang-layang ini di ajarkan kepada warga sekitar, hingga turun temurun sampai saat ini.
Kurdi salah seorang pengrajin di Kampung Bendungan mengungkapkan bahwa penghasilan dari membuat layang-layang cukup untuk menghidupi keluarganya. “Lumayan lah dapat juga membantu masyarakat sekitar untuk menambah penghasilan” ungkapnya ketika ditemui di rumahnya yang sekaligus menjadi tempat produksi layang-layang.
Upah membuat layang-layang memang tidak terlalu besar sebagai contoh upah membuat rangka (arpu) adalah Rp. 15 per buah, dalam satu hari rata-rata di hasilkan sekitar 200-250 arpu perorang, artinya penghasilan perorang mencapai Rp. 30.000 – Rp.37.500. Harga jual layang-layang itu sendiri di tingkat pengrajin berkisar sekitar Rp. 200 – Rp. 250 dan dijual dalam bentuk bal atau karung berisi 1.000 layang-layang.
Layang-layang yang dibuat adalah layang-layang biasa, mengingat kebutuhan konsumen yang besar adalah jenis layang-layang biasa dan juga ongkos produksi nya yang relatif terbilang murah serta pengerjaannya yang cepat, namun sesekali ada juga pesanan layang-layang hias yang berbentuk beraneka macam seperti bentuk kupu-kupu, ikan pari dan lainnya, tentunya pengerjaannya membutuhkan ketelitian dan waktu relatif lama serta bahan baku yang digunakan cukup banyak sehingga harga jualnya tentunya berbeda dengan layang-layang biasa.
Baik Jalaludin maupun Kurdi serta pengrajin lainnya sepakat untuk tetap mempertahankan tradisi memproduksi layang-layang dan tetap akan menurunkan keahlian membuat layang-layang kepada anak cucu nya meskipun kadang-kadang permintaan layang-layang menurun terutama pada saat musim hujan. Mereka merasa bahwa membuat layang-layang bukan hanya sekedar mencari uang tetapi sudah menjadi sebuah seni dan tradisi serta upaya mempertahankan salah satu permainan khas Indonesia ditengah gencarnya serbuan permainan anak-anak yang berbentuk digital.Herman