JAKARTA – Dalam Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Romo Magnis, atau Filsuf Franz Von Magnis, ikut memberikan analisis terhadap lima pelanggaran etika dalam konteks Pemilu 2024.
Menurut Romo Magnis, pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum dinilai sebagai pelanggaran etika berat.
Meskipun Majelis Kehormatan MK telah menetapkan keputusan yang memungkinkan Gibran menjadi cawapres, tindakan tersebut tetap dinilai sebagai pelanggaran etika.
“Penetapan seseorang sebagai cawapres yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan suatu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat,” kata Romo Magnis.
Selain itu, Romo Magnis juga menyoroti keberpihakan Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024. Menurutnya, meskipun presiden boleh memiliki preferensi terhadap calon tertentu.
Yakni menggunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk mempengaruhi dukungan dari aparatur sipil negara dinilai sebagai pelanggaran berat terhadap etika.
“Untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu, dia secara berat melanggar tuntutan etika bahwa dia tanpa membeda-bedakan adalah presiden semua warga negara termasuk semua politisi,” ujarnya.
Tidak ketinggalan, Romo Magnis juga mengkritik praktik nepotisme yang dilakukan oleh seorang presiden.
Menurutnya, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga sendiri merupakan tindakan yang memalukan dan menunjukkan ketidakpedulian terhadap prinsip ‘hidupku 100% demi rakyatku’.
Pembagian bantuan sosial juga menjadi sorotan Romo Magnis. Menurutnya, menggunakan bantuan sosial untuk kepentingan politik merupakan bentuk pencurian dan menunjukkan kehilangan wawasan etika dasar tentang jabatan sebagai presiden.
“Maka itu mirip dengan seorang karyawan yang diam-diam mengambil uang tunai dari kas toko. Jadi itu pencurian ya pelanggran etika,” kata Romo Magnis.
Terakhir, Romo Magnis menegaskan bahwa manipulasi dalam proses pemilu merupakan pelanggaran etika berat. Menurutnya, manipulasi seperti perubahan waktu pemungutan suara atau perhitungan suara yang tidak semestinya merusak hakekat demokrasi dan merupakan bentuk sabotase terhadap kehendak rakyat. (*/DR)