Pemberdayaan Laki-laki, Perlukah?

Picsart 23 10 22 12 11 46 937
Dok. Ilustrasi/net)

Pemberdayaan perempuan telah menjadi isu internasional. Indonesia mulai menaruh perhatian terhadap pemberdayaan perempuan sejak menyepakati dua kesepakatan internasional yaitu Convention on the Political Rights of Women tahun 1952 dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) pada tahun 1979.

Bentuk kesepakatan Indonesia adalah lahirnya Menteri Muda Urusan Peranan Wanita (MENMUD UPW) tahun 1978-1983 yang kemudian berubah menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita (MENUPW) tahun 1983-1987. Pengakuan Indonesia terhadap pemberdayaan perempuan semakin yakin setelah disahkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.

45 tahun setelah Indonesia menjalankan pemberdayaan perempuan, capaian program tersebut telah mengantarkan Indonesia pada beragam peningkatan kualitas hidup perempuan. Perempuan telah menjadi prioritas khusus dalam pembangunan dengan skor Indeks Pembangunan Gender (IPG) nasional sebesar 91,63 pada 2022.

Bacaan Lainnya

IPG merupakan perbandingan capaian pembangunan perempuan dan laki-laki berdasarkan indikator umur panjang dan hidup sehat, pendidikan, dan standar hidup layak. Skor IPG 91,63 menunjukkan perbandingan capaian kemampuan dasar antara laki-laki dan perempuan nyaris sama.

Tanpa mengenyampingkan data bahwa pemberdayaan perempuan masih memerlukan perhatian khusus dari negara, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “apakah laki-laki tidak memerlukan pemberdayaan?”

Laki-laki boleh merasa tenang karena angka serapan tenaga kerja di bidang formal laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki 43,97% sementara perempuan 35,57%. Namun, angka serapan tenaga kerja sektor informal menunjukkan angka 56,03% laki-laki dan 64,43% perempuan. Sementara itu, Survey Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2023 menemukan sektor yang menyerap angkatan kerja paling banyak adalah sektor akomodasi, makan, minum, dan jasa lainnya yang lebih banyak termasuk sektor informal.

Posisi laki-laki semakin berbahaya jika dilihat dari angka pengangguran dan pendidikan. Badan Pusat Statistik Indonesia merilis data pengangguran terbuka laki-laki tahun 2020-2022 selalu lebih besar daripada perempuan. Tahun 2020-2023 angka pengangguran terbuka laki-laki adalah, 7.46, 6.74, dan 5.93 sementara angka pengangguran terbuka perempuan 6.46, 6.11, 5.73. Data tahun yang sama menunjukkan laki-laki lulus SD, SMP, dan SMA lebih sedikit daripada perempuan. Angka harapan hidup laki-laki juga lebih rendah daripada perempuan. Angka harapan hidup laki-laki tahun 2022 adalah 69,93 dan perempuan 73,83.

Jadi, laki-laki di Indonesia secara rata-rata lebih sedikit dapat menguasai sektor ekonomi terbesar di Indonesia, lebih banyak menjadi pengangguran, lebih rendah pendidikannya, dan lebih cepat meninggal. Data tersebut boleh disangkal sebagai data yang tidak menunjukkan penurunan kualitas laki-laki. Namun, data itu menunjukkan secara rata-rata laki-laki di Indonesia berpotensi untuk tertinggal oleh perempuan.

Pemberdayaan, sebagai upaya membuat berdaya sesorang atau sekelompok masyarakat, menjadi domain perempuan karena perempuan pada awalnya merupakan kelompok masyarakat yang tertinggal. Data Badan Pusat Statistik Indonesia menggambarkan laki-laki telah mulai menunjukkan tanda-tanda tertinggal dari perempuan. Indonesia dengan 87,6% masyarakatnya menganut agama Islam sebagai kepercayaannya, mempercayai laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga. Tentunya kualitas pemimpin harus lebih baik daripada yang dipimpin. Pemberdayaan laki-laki telah diperlukan.

Agustina M. Purnomo
(Dosen Sosiologi di Universitas Djuanda)