Sidang MKMK, PBHI Ungkap Dokumen Perbaikan Tak Ditandatangani Almas Tsaqibbirru

IMG 20231102 161647
Dok. Sidang MKMK/YouTube Mahkamah Konstitusi)

JAKARTA – Sidang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terkait dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi pusat perhatian publik setelah adanya fakta baru yang mencuat. Putusan MK ini memicu kontroversi terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) serta dianggap mengandung konflik kepentingan.

Dalam sidang pemeriksaan salah satu pelapor, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengungkapkan bahwa dokumen perbaikan permohonan yang diajukan Almas Tsaqibbirru, pemohon dalam kasus ini, tidak ditandatangani oleh kuasa hukum maupun Almas sendiri. Dokumen tersebut ditemukan PBHI langsung dari situs resmi MK dan dipaparkan dalam persidangan.

“Kami berharap ini juga diperiksa. Kami khawatir apabila dokumen ini tidak pernah ditandatangani sama sekali maka seharusnya dianggap tidak pernah ada perbaikan permohonan atau bahkan batal permohonannya,” ungkap Ketua PBHI Julius Ibrani dikutip dari Kompas, Kamis (2/11).

Bacaan Lainnya

Ibrani menambahkan bahwa MK selama ini telah menjadi teladan dan disiplin dalam pemeriksaan persidangan, termasuk dalam hal tertib administratif. Namun pihaknya mendapatkan satu dokumen tersebut tidak pernah ditandatangani dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya,” ucapnya.

Kasus ini mencuat setelah MK, yang saat itu diketuai oleh Anwar Usman, ipar dari Presiden Joko Widodo, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada tanggal 16 Oktober 2023 melalui putusan yang sangat kontroversial.

Putusan tersebut memberi peluang bagi Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi sekaligus keponakan Hakim Konstitusi, Anwar Usman untuk mencalonkan diri sebagai Cawapres pada Pilpres 2024, meskipun usianya baru 36 tahun.

Anwar Usman membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam putusan tersebut. Namun, pendapat hakim konstitusi yang berbeda (dissenting opinion) mengungkapkan bagaimana Anwar terlibat dalam mengubah sikap MK dalam waktu singkat.

Hingga saat ini, MK telah menerima 20 aduan resmi terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terkait putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 ini. Kontroversi ini terus menjadi perhatian publik dan memunculkan banyak pertanyaan terkait integritas dan transparansi dalam proses peradilan di Indonesia. (*/DR)