Dunia semakin tua. Teknologi terus ber-transformasi. Manusia seakan tergantikan oleh mesin-mesin canggih. Polarisasi kehidupan pun turut berubah dari waktu kewaktu. kini manusia hidup pada era digital. Generasi milenial menjadi sapaan hangat nan lengket di pendengaran kita. Jarak dan waktu sudah tidak menjadi sebuah persoalan. Setiap sudut dari dunia ini berada dalam genggaman kita. Revolusi Industri 4,0 menggema dimana-mana. Transaksi informasi dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Ditengah masifnya perkembagan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), kita dihadapkan dengan informasi dan berita yang beraneka ragam. Era post truth yang mewabah, saat ini merupakan pergeseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini.
Fakta-fakta bersaing dengan “hoax” untuk mendapat kepercayaan publik.Dengan pergolakan antara fakta dan opini di era post truth ini tentunya menimbulkan sebuah enigma (teka-teki) bagi masyarakat. Revolusi industri dalam bingkai Internet of Tings (LoT) yang melahirkan post truth bukanlah sebuah kutukan atas maraknya kebohongan dan informasi yang tidak akurat. Justru seharusnya umat perlu melakukan asimilasi sejak dini sehingga tidak menjadi bagian dari korban post truth era. Untuk membicarakan masalah post truth ini kita harus bertolak dari apa yang dimaksud dengan post truth itu sendiri.
Kamus Oxford mendefinisikan istilah post truth sebagai kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik bila dibanding dengan sentimen emosi dan keyakinan personal. Pada case ini, hoax mempunyai pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan fakta. Post truth merupakan embrio dari revolusi industri yang terlahir akibat Internet of Things (IoT) sudah tidak dapat ter-elakkan lagi. Dampaknya hoax bergulir deras dimasyarakat. Jika sudah demikian akan sulit mengenali antara mana informasi faktual dan mana yang hoax.
Terhadap permasalahan ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk meminimalisasi penyebaran berita palsu (hoax). diantaranya :
1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE);
2. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik;
3. Merekrut Tenaga Humas Pemerintah (Government Public Relation) sebagai tindak lanjut atas keluarnya Inpres no 9 tahun 2015 yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika;
4. Membentuk jejaring Komunikasi untuk menangkal penyebaran berita palsu (hoax);
5. Membentuk Portal Jaringan Pemberitaan Pemerintah;
6. Portal Aduan Konten;
7. Gerakan Bersama Anti Hoax dan Portal TurnBackHoax.id;
8. Sinergi Media Sosial Aparatur Sipil Negara.
Berkaca pada upaya pemerintah tersebut diatas nampaknya belum optimal untuk menanggulangi penyebaran hoax yang marak terjadi di masyarakat. Pasalnya baik dari segi teknis pelaksanaan maupun muatan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah belum sepenuhnya merepresentasikan kebutuhan maupun permasalahan yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Sebut saja misalnya UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Dimana inti dari undang-undang tersebut adalah pasal 27 yang memuat empat point penting perbuatan yang tidak boleh dilakukan pada media sosial seperti yang bermuatan melanggar kesusilaan, (pasal 27 ayat 1), perjudian (pasal 27 ayat 2), pencemaran nama baik (pasal 27 ayat 3), pemerasan dan/atau pengancaman (pasal 27 ayat 4).
Terdapat kelemahan pada undang-undang ini. Dimana dalam pembuatan undang-undang ini tidak memperhatikan unsur subjeknya. Unsur subjek tersebut apabila ditinjau dari perspektif ilmu hukum meliputi atas dua unsur. Yakni:
1. Proparte Dolus (Perbuatan dengan Kesengajaan).
2. Proparte Culpus (Perbuatan karena Kelalaian)
Akibatnya dalam proses implementasi hukum tersebut dapat berpotensi salah tangkap. Seperti pada kasus yang menimpa Baiq Nuril seorang mantan pegawai honorer SMA yang kerap mengalami pelecehan seksual via telepon yang dilakukan oleh Kepala Sekolah tempat Ia bekerja. Sampai pada suatu ketika Baiq Nuril merekam percakapan Kepala Sekolah tersebut yang bercerita mengenai perselingkuhannya dengan bendahara. Baiq Nuril menyimpan rekaman tesebut (tidak menyebarluaskannya) namun rekan kerjanya yang bernama Imam Mudawin meminta rekaman itu lalu menyebarkannya ke Dinas Pendidikan Kota Mataram.
Akibatnya Kepala Sekolah tersebut di mutasi dari jabatannya. Karena merasa geram, Ia akhirnya melaporkan Baiq Nuril dengan tuduhan pencemaran nama baik. Kasus tersebut kemudian di proses di Pengadilan Negeri Mataram pada tahun 2017. Oleh Pengadilan, Baiq Nuril di vonis tidak bersalah. Namun ketika Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi dan dikabulkan, Baiq Nuril yang semula dinyatakan bebas menjadi terbukti bersalah dan terancam pidana enam bulan kurungan serta denda 500 juta, subsider 3 bulan kurungan.
Berbeda jauh dengan Kepala Sekolah. Ia justru dipromosikan dan kini menjabat sebagai Kepala Bidang di salah satu Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Mataram tanpa dijatuhi satupun sanksi dari Pemerintah Kota Mataram. Sangat miris memang. Inilah salah satu contoh kelemahan dari regulasi yang di keluarkan pemerintah.Disamping itu, persoalan lain pun hadir ketika jejaring komunikasi yang dibentuk untuk menangkal penyebaran hoax justru digunakan untuk kepentingan
politik yang ditunggangi oleh partai-partai politik yang ber-koalisi.
Kompleksitas persoalan post truth akan semakin menjadi teka-teki (enigma) di masyarakat. Oleh sebab itu pemerintah disini dibutuhkan sebagai sosok penengah yang benar-benar real bekerja demi kemaslahatan dan kesejahtraan masyarakat. Selain pemerintah, dibutuhkan juga kesadaran dari masyarak agar melek informasi sehingga tidak menjadi bagian yang tersisihkan ditengah post truth era ini.
ASIMILAS UMAT.
Jika merefleksi kondisi umat dimasa kini dengan kondisi umat pra Islam atau yang lebih dikenal dengan masyarakat jahiliyah tentu memiliki perbedaan yang sangat kontras. Umat kala itu hidup dalam keterbelakangan. Jangankan untuk mengakses informasi, mengenal baca tulis pun tidak. Keterbelakang tersebut terus berlangsung sampai kelahiran sang pencerah Rasulullah Muhammad Saw pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Gajah (20 April 571 M). Dengan lahirnya sang pencerah ini memberikan banyak dampak positif dari sisi buruk kehidupan masyarakat jahiliyah, menjadi lebih manusiawi.
Hadirnya Rasulullah menjadi sebuah kado emas bagi umat manusia di seluruh dunia. Beliau tumbuh dengan sikap serta perilaku terpuji yang patut dijadikan tauladan. Seperti; ahlak beliau yang sempurna sejak beliau dilahirkan sehingga mendapat gelar Al-Amin, kejujuran beliau yang tidak diragukan lagi, penuh kasih sayang, adil, mulia dan berbagai budi pekerti menawan lainnya. Dibalik kesempurnaan akhlak yang dimiliki oleh Rasulullah yang perlu menjadi perhatian bersama adalah kemampuan beliau dalam ber-asimilasi terhadap kelut-melutnya kehidupan sosial masyarakat jahliyah pada saat itu. Sedikit berlebihan memang rasanya jika penulis menyandingkan perilaku Rasulullah yang memang menjadi pilihan Allah sebagai manusia dengan akhlak sempurna, dengan kita yang hanya sebagai manusia biasa serta tidak pernah luput dari kesalahan dan dosa.
Namun setidaknya kita patut bersyukur sebab kita hidup di era milenialis yang sangat dekat dengan teknologi mutakhir. Jika Rasulullah mampu menjadi seorang reformis serta pemimpin politik hebat di era keterbatasan informasi, mengapa kita tidak berusaha untuk menjadi seorang reformis pula di era revolusi industri kini. Tekad tersebut seharusnya tertanam di benak kita bersama. Sehingga era yang di sebut post truth ini tidak dimaknai sebagai kutukan revolusi industry 4,0 namun lebih bagaiman kita mampu berasimilasi ditengan maraknya peredaran hoax.
Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah strategis sebagai umat milenial agar mampu berasimilasi di tengah post truth era ini. Langkah-langkah tersebut diantaranya:
1. Kembali kepada Al-Quran. Sudah tidak diragukan lagi Al-Quran adalah petunjuk bagi manusia, yang menerangkan mengenai petunjuk antara yang hak dan yang batil. (QS 2:185). Oleh karena itu kita sebagai umat muslim, dengan segala bentuk dasyatnya perubahan serta perkembangan zaman saat ini, Al-Quran tetaplah harus menjadi pegangan utama kita.
2. Menanamkan prinsip berjihad dalam ranah Pendidikan umat dan menjadikan paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagai salah satu fondasi untuk pengembangan umat. 5 Prinsip ini dianut oleh Kiyai Hasyim Asy’ari yang menginspirasi banyak pihak. Paham Ahlussunnah wal Jamaah ini terbukti menjadikan islam sebagai sebuah kekuatan konstruktif, yang salah satunya adalah setiap muslim tidak menganggap dirinya sebagai umat yang paling benar dan tidak mudah terjebak dalam klaim kebenaran. Yang terpenting dari semua itu adalah umat islam tidak kehilangan identitas, baik dalam konteks masa lalu maupun masa kini.
3. Mengupayakan diri agar menjadi seorang yang melek informasi sehingga tidak mudah terbawa arus hoax ditengah wabah post truth.
KESIMPULAN.
Generasi milenialis di tengah Revolusi Industri 4,0 yang menetaskan post truth dari rahim Internet of Things (IoT) sudah seharusnya memaknai maraknya wabah hoax sebagai sesuatu yang bukan menjadi sebuah kutukan. Melainkan sesuatu yang justru harus di asimilasikan dengan pemahaman akan teknologi mutakhir, serta melek informasi. Adanya sinergitas antara pemerintah dan masyarakat serta penyesuaian muatan regulasi agar merepresentasikan kebutuhan yang sebenarnya di butuhkan masyarakat akan menjadi fondasi yang kuat mencegah penyebaran berita bohong (hoax).
Disamping itu adanya langkah-langkah strategis untuk back to Al-Quran serta prinsip Ahlussunnah wal Jamaah akan menjadi pelita kita dalam berasimilasi terhadap enigma (teka-teki) post truth.Yang terpenting dari semua itu adalah HMI dapat turut berperan memerangi subur dan mewabahnya era post truth. Penulis mengatakan demikian dengan merujuk pada pemikiran salah satu tokoh yang sangat crusial yakni ayahanda Nurcholish Madjid melalui perlunya kebebasan berpikir, sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya dobrak psikologis (psycological striking force) yang dapat merespon tuntutan-tuntutan dengan segera dari kondisi- kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial. Lebih daripada angin segar terhadap pemikiran islam konservativ yang lebih mengedepankan ritual semata-mata, kebebasan berpikir (things out of the box) ini mampu menjadi tackling (penangkal) diseminasi hoax.
Oleh
Unzurna (Fakultas Hujum, Universitas Pakuan)
Kader HMI Komisariat Universitas Pakuan.